Duo anak Pulau Belitong, Lintang dan Ikal, kembali lagi ke panggung teater. Untuk kedua kalinya, Musikal Laskar Pelangi dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, di bawah arahan sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana. Juga untuk kedua kalinya, penonton dibuat terpukau.
Cerita dimulai dari monolog Ikal dewasa yang mengunjungi kampung halamannya di desa Gantong. Tampak bangunan pabrik sebagai latar, dengan tulisan besar dari besi “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK PUNYA HAK”. “Saya ingin menceritakan masa kecil saya di pulau kecil ini...” tutur Ikal, “pulau yang sangat kaya, tapi kekayaannya tidak pernah dirasakan rakyatnya.” Lalu sekumpulan buruh (pabrik PTPN Timah) berbaris di atas panggung, mulai menari dan menyanyikan Nasib Tak Kan Berubah (1).
A very catchy start, indeed. Menggandeng Jay Subyakto untuk desain artistik, Musikal Laskar Pelangi tak hanya akan menjamu Anda dengan cerita inspirasional karya Andrea Hirata, tapi juga dengan setting panggung dan efek visual yang luar biasa detail. Well, mungkin karena pertunjukan ini mengambil anak-anak sebagai target market, jadi efek hujan yang (benar-benar) turun di atas panggung sudah lebih dari cukup untuk mengundang “Ooohhh...” dari mulut penonton. Malah, Cosmo duduk sebaris dengan lima anak kecil yang tak berhenti bertepuk tangan sepanjang pertunjukan (jangan tanya reaksi mereka ketika pelangi mendadak muncul!).
Para aktor yang kebanyakan berusia di bawah 15 tahun memang bukan tanpa cacat. Tapi mereka sudah dibekali dengan dua karakter yang mau tidak mau dimaafkan penonton: innocence, dan cuteness. Alvaro Maldini, sebagai Lintang kecil, memberikan performance yang menyentuh hati. Tapi Kelvin J. Sugiharto, memerankan Ikal kecil, jauh melebihi ekspektasi. Di adegan Toko Sinar Harapan, Kelvin berhasil membuat setiap pasang mata lupa berkedip lewat teknik vokalnya yang superb di Jari-Jari Cantik. Not bad for a 13-year-old!
Kisah Laskar Pelangi memang berat akan pesan moral. After-all, mungkin ini adalah kisah lokal pertama yang bisa memberikan excitement sama besarnya dengan menonton Beauty & the Beast di panggung Broadway. Bedanya? Yang ini bisa “menyihir” anak-anak, bahkan tanpa kehadiran fairy godmother, maupun istana raja yang megah. (Putri Silalahi/FT)